Penerapan Yurisdiksi Teritorial
terhadap Pengungsi Internasional (Refugee)
yang Melakukan Tindak Pidana di dalam Yurisdiksi State/ Host Countries
Berkaitan dengan Pertahanan
Kedaulatan
Oleh: Meika Arista
Pendahuluan
Konflik
berkepanjangan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah telah membawa dampak
yang sangat luas, khususnya bagi para penduduk sipil yang langsung terkena
dampak nyata di wilayah konflik. Dalam penanganan korban perang dan warga sipil
yang memerlukan perlindungan dan keamanan, seluruh negara di dunia secara tidak
langsung wajib membantu dan memberikan pertolongan pada seluruh korban dalam
konflik ini. Tentunya, konflik ini menarik perhatian dunia internasional.
Konflik bermula ketika Israel dan Palestina memperebutkan tanah kekuasaan yang
diklaim milik leluhur kedua belah negara ini menimbulkan berbagai permasalahan
internasional.
Berubahnya
konflik yang semula hanya antara kedua negara saat ini telah berkembang dengan
adanya dampak warga sipil yang memilih untuk keluar dari daerah konflik untuk
menyelamatkan jiwa dan keluarga. Sebagian besar pengungsi memilih untuk keluar
dari wilayah negaranya untuk menyelamatkan diri, tentunya para pengungsi ini
memasuki wilyah negara lain baik untuk sementara waktu maupun menetap.
Kedatangan para pengungsi korban konflik ini tidak hanya memberikan dampak baik
terhadap kondisi yang ada yang diperoleh dari segi keamanan mereka, melainkan
adanya hukum Internasional yang mewajibkan setiap negara lain untuk tidak
menolak kedatangan mereka yaitu prinsip yang berasal dari International Customary Law, Principle of Non Refoulment: “No Rejection
in the border”[1],
juga dapat mengesampingkan hak pada negara yang didatangi (State/Host Country) terhadap keamanan kedaulatannya. Bagaimanakah
bila para pengungsi yang masuk ke dalam negara lain melakukan tindak pidana di
dalam State/Host Country, apakah State/Host Country berhak untuk
mengadili mereka? Hal ini yang kemudian akan dibahas oleh penulis yaitu
mengenai “Penerapan Yurisdiksi Teritorial
terhadap Pengungsi Internasional (Refugee) yang Melakukan Tindak Pidana di
dalam Yurisdiksi State/ Host Countries Berkaitan dengan Pertahanan Kedaulatan.”
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
penegakan Yurisdiksi Teritorial menurut Hukum Internasional?
2. Apakah
yang dimaksud dengan Pengungsi Internasional dan bagaimana kewajiban negara
yang didatangi (State/Host Countries)?
3. Dapatkah
State/Host Countries mengadili
Pengungsi Internasional yang berada di wilayah yurisdiksinya yaitu berkaitan
dengan permasalahan mempertahankan kedaulatannya?
Pembahasan
A.
Penegakan
Yurisdiksi Teritorial dalam Hukum Internasional
Kata
yurisdiksi (jurisdiction) berasal
dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal dari dua kata yaitu
kata yuris dan dictio. Yuris berarti
kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat
dari asal katanya nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum atau
kewenangan menurut hukum.[2]
Imre
Anthony Csabafi dalam bukunya The Consept
of State Yurisdiction in International Space Law mengemukakan bahwa
yurisdiksi negara dalam hukum internasional publik berarti hak dari suatu
negara untuk mengatur atau mempengaruhi dengan langkah-langkah atau tindakan
yang bersifat legislatif, eksekutif, maupun yudikatif atas hak-hak individu,
milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwayang
tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri.[3]
Berdasarkan
pengertian yurisdiksi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yurisdiksi adalah
kewenangan mengadili suatu negara terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di
dalam negaranya. Dalam kasus ini, permasalahannya adalah mengenai siapa dan
sedang dalam keadaan apa subyek yang akan diadili, yaitu subyeknya adalah pengungsi
internasional atau refugee dan
keadaannya adalah keadaan force mejour atau keadaan yang memaksa mereka untuk
pergi dari daerah konflik dan masuk pada wilayah negara lain untuk berlindung.
Pengungsi
yang berada dalam yurisdiksi State/Host
Countries haruslah mengikuti hukum yang ada dalam negara tersebut. Sebagai
negara yang berdaulat, State/Host
Countries tetap memiliki yurisdiksi penuh terhadap seluruh orang yang
memasuki wilayah kekuasaannya. Seperti perumpamaan “dimana bumi perpijak, disitulah langit dijinjing” maka jika
seorang pengungsi dalam keadaan seperti apapun yang keluar dari negaranya yang
sedang berkonflik kemudian masuk ke dalam negara lain, maka sudah sepatutnya
dia tunduk dan patuh terhadap hukum yang ada. Dan jika seorang pengungsi itu
melakukan tindak pidana, maka sebagai negara yang berdaulat, State/Host Countries berhak untuk
mengadilinya berdasarkan hukum yang berlaku.
B.
Pengungsi
Internasional dan Kewajiban State/Host
Countries
Konflik
yang terjadi antara Israel dan Palestina di Timur Tengah semakin memanas. Belum
lagi, permasalahan yang sedang disorot oleh dunia internasional saat ini adalah
dengan adanya Islamic State of Iraq and
Suriah (ISIS) yang memberikan teror-teror kejahatan kemanusiaan yang selama
ini terjadi juga semakin kencang untuk menyebarkan pahamnya di negara-negara
lain. Hal inilah yang menimbulkan jumlah
pengungsi internasional atau refugee semakin meningkat tajam. Dalam koran Media
Indonesia ePaper menyebutkan, peningkatan jumlah refugee diseluruh dunia saat
ini meningkat tajam.
Dalam
Geneva Convention of 1951 to the Status
of Refugee, “a refugee is any person who:... owing to well-founded fear
of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership
to a particular social group or
political opinion, is outside the country of origin of his nationality
and unable or owing such fear, is unwilling to avoil himself of protection of
that country”.[4]
Pada intinya, pengungsi sangat berbeda dengan migrant. Seperti yang telah didefinisikan diatas, refugee yaitu orang yang terpaksa pergi
untuk menyelamatkan diri dan kebebasannya karena suatu penganiayaan. Sedangkan
hal itu berbeda dengan Migrant,
karena alasan yang mendasarkan seorang Migrant
untuk keluar dari negaranya adalah permasalahan dalam aspek memperbaiki
kehidupan perekonomiannya.
Berdasarkan
pengertian dari refugee di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang refugee
adalah orang yang pergi dari negaranya ke negara lain, walaupun pada dasarnya refugee dibagi menjadi dua macam, yang
pertama adalah pengungsi internal atau dalam hukum internasional biasa disebut
dengan internally displaced persons/IDPs yaitu
“persons or groups of persons who have
been force or obliged to flee or to leave their homes or places of habitual
recidence, in particular as a result of or in order to avoid the effect of
armed conflict, situations of generalized violence, violations of human rights
or natural or human-made disasters, and
who have not crossed an internationally recognised state border”[5]
Akan
tetapi, yang dipermasalahkan disini adalah macam refugee yang kedua, yaitu refugee
yang melintasi batas negara/ have crossed
an international border. Adanya kewajiban suatu negara yaitu diharuskannya
menerima refugee yang membutuhkan perlindungan ini bukanlah berarti bahwa
pengungsi internasional/ refuge tidak memiliki kewajiban apapun. Ada prinsip
dalam hukum internasional untuk menghormati hukum yang ada pada state/ host countries, yaitu berdasarkan
tertib hukum internasional dilandasi dengan prinsip kedaulatan negara. Setiap
negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada
maupun terjadi di wilayah atau territorialnya.[6]
C.
Yurisdiksi
Teritorial State/Host Countries
terhadap Refugee
Membicarakan
mengenai kewenangan mengadili pada refugee tentunya tidak terlepas dari aspek
perlindungan terhadapnya. Tidak semata-mata menerapkan hukum yang ada pada
suatu negara, namun harus melihat kepentingan apa dan kepentingan siapa (sinnegebugen) dalam pelaksanaan
penjatuhan pidana. Dalam konsep perlindungan internasional terhadap para refugee dapat berasal dari dua pihak.
Pertama adalah national protection
yaitu state has exclusive jurisdiction
over territory and its peoples.[7]
Selain itu state has right and
responsibility to protect the peoples.[8]
Dan yang kedua adalah International Protection terhadap refugee yaitu international
comunity temporary protection/surrogate of nation protection.[9]
Setelah
mengetahui bahwa perlindungan terhadap refugee yang dibebankan pada masyarakat
internasional adalah perlindungan yang bersifat temporarry, maka harus ada
penanganan yang berbeda pula bagi refugee yang telah lama menetap di dalam
wilayah kekuasaan state/host countries. Seperti
yang telah dikatakan pada sub bab sebelumnya, bahwa setiap negara merdeka
memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun terjadi di
wilayah atau territorialnya.[10]
Hal ini tentunya berlaku bagi warga negaranya sendiri maupun warga negara asing
yang berada di dalam wilayah yurisdiksinya. Tidak pula berbeda dengan
keberadaan refugee, memang untuk beberapa waktu (temporal) refugee yang berada
di dalam wilayahnya sendiri (IDPs) maupun yang berada di luar international
border atau di dalam yurisdiksi negara lain tetap yang berhak mengadili adalah
negara aslinya atau state has exclusive
jurisdiction over territory and its peoples.
Namun, apabila refugee
ini telah melakukan tindak pidana yang membahayakan kepentingan dari state/host countries maka berhak untuk
diadili dimana ia mengungsi. Misalnya saja dalam konflik Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS), terdapat bahaya yang
sangat besar karena kelompok ini sudah mendeklarasikan bahwa akan menyebarkan
paham yang mereka miliki untuk memperluas wilayah kekuasaan. Lantas, bagaimana
jika ada oknum dari kelompok ISIS yang menyamar menjadi refugee dan pergi ke
negara lain dengan alasan untuk mengungsi padahal sejatinya ia ingin
menyebarkan paham yang sama di dalam negara state/host
countries? Bukankah ini merupakan suatu ancaman bagi negara-negara lain
untuk melindungi kedaulatannya? Tentu saja jawabannya, iya.
Kesimpulan
Pengungsi
adalah setiap orang yang: ... karena ketakutan yang berasal
dari penganiayaan karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan
pada kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, berada
di luar negara asal kewarganegaraannya
dan tidak dapat atau
karena ketakutan tersebut,
tidak mau memanfaatkan dirinya dari perlindungan
negara tersebut. Tentunya setiap negara merdeka memiliki kedaulatan
untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun terjadi di wilayah atau
territorialnya. Dalam perlakuannya jika seorang refugee melakukan tindak
pidana, untuk beberapa waktu (temporal)
refugee yang berada di dalam wilayahnya sendiri (IDPs) maupun yang berada di
luar international border atau di dalam yurisdiksi negara lain tetap yang
berhak mengadili adalah negara aslinya atau state
has exclusive jurisdiction over territory and its peoples. Maka, mengingat
bahwa perlakuan terhadap refugee ini adalah istimewa dibandingkan dengan
migrant, diperlukan upaya khusus pula apabila seorang refugee melakukan tindak
pidana di dalam yurisdiksi state/host
countries. Apabila refugee telah lama menetap di dalam state/host countries, dan mengancam kedaulatan negara, maka state/host countries dengan alas hak
prinsip kedaulatan negara.
Daftar Pustaka
1. I
wayan Parthiana, Pengantar Hukum
Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990.
2. Imre
Anthony Csabafi, The Consept of State
Yurisdiction in International Space Law, Martinus Nijhoff, The Haque, 1971,
hlm. 49
3. Sefriani,
Hukum Internasional (Suatu Pengantar), Jakarta:
PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011.
4. Makalah
Stadium General “Perlindungan Hukum bagi Pengungsi Korban Islamic State of Iraq
and Suriah (ISIS)” oleh Prof. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., 23 Desember 2015
5. Geneva
Convention of 1951 to the Status of Refugee
6.
The
Guiding Principles on Internal Displacement 1998
[1]
Informasi didapat dalam Stadium General “Perlindungan Hukum bagi Pengungsi
Korban Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS)” oleh Prof. Sigit Riyanto, S.H.,
LL.M., 23 Desember 2015
[2] I wayan
Parthiana, Pengantar Hukum Internasional,
(Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 102.
[3] Imre
Anthony Csabafi, The Consept of State Yurisdiction in International Space
Law, Martinus
Nijhoff, The Haque, 1971, hlm. 49 sebagaimana dikutip oleh Sefriani, Hukum Internasional (Suatu Pengantar), (Jakarta:
PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), hlm. 233.
[4] Konvensi Jenewa 1951 dengan
Status Pengungsi, pengungsi
adalah setiap orang yang: ... karena ketakutan yang didirikan
pada dianiaya karena alasan ras,
agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pendapat
politik, berada di luar negara
asal kewarganegaraannya dan
tidak dapat atau karena
ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan dirinya
dari perlindungan negara tersebut.
[5] The
Guiding Principles on Internal Displacement 1998
[6] Sefriani, Hukum Internasional (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO
PERSADA, 2011), hlm. 231-232.
[7] Artinya
kurang lebih: negara memiliki yurisdiksi exklusif di negara yang bersangkutan
terhadap warga negaranya.
[8] Artinya
kurang lebih: negara memiliki hak untuk melindungi warga negaranya.
[9] Artinya
kurang lebih: dalam perlindungan internasional, masyarakat internasional hanya
memproteksi sementara “surrogate;sementara”
[10]
Op.cit., Sefriani, Hukum Internasional..