Peradilan Khusus Pemilu
Oleh: Meika Arista
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Menurut UUD Negara Republik Indonesia pasal 1 ayat 2
mengenai kedaulatan yang berada ditangan rakyat dan pasal 1 ayat 3 “Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini
membawa konsekuensi pada proses penyelenggaraan negara bahwa semua proses
bernegara haruslah berlandaskan pada hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Dalam hal ini, Partai politik adalah salah satu pilar bangsa yang mewujudkan
kedaulatan rakyat. Partai politik sebagai peserta pemilihan umum yang berwenang
mencalonkan orang yang mewakili partai serta mewakili rakyat pada umumnya.
Pemilihan
Umum adalah proses demokrasi di Indonesia yang berlangsung lima tahun sekali
untuk memilih seseorang yang dicalonkan oleh partai politik guna menduduki
suatu jabatan politik tertentu. Sejarahnya,
pada tahun 1955 adalah pemilu yang pertama kali diselenggarakan oleh bangsa
Indonesia. Pemilu tahun 1955 adalah pemilu pertama untuk memilih 257 anggota
DPRdan 514 anggota konstituantedengan jumlah 29 partai politik. Kemudian pada
tahun 2004 merupakan pemilu pertama kali yang diselenggarakan di Indonesia
dimana semua warga negara memiliki hak pilih untuk memilih presiden dan wakil
presiden. Pemilu haruslah berlandaskan pada asas-asas yang berlaku yaitu asas
Langsung, Umum, Bebas, Jujur, dan Adil agar tercipta pemilu yang bersendikan
demokrasi. Dalam kebiasaan yang telah berlangsung
selama bertahun-tahun, setiap setelah pemilu berlangsung selalu ada
permasalahan-permasalahan yang timbul. Mulai dari permasalahan penggelembungan
suara, pembukaan suara yang bukan oleh pihak yang berwenang, hingga
suap-menyuap yang sering terjadi dalam proses pemilu.
Permasalahan
lain yang muncul kemudian adalah berdasarkan
pasal 24C ayat 1 ditentukan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga
peradilan yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final yang salah satunya untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu. Adapun yang dimaksud dengan sengketa pemilu adalah
perselisihan antara peserta pemilu dengan Komisi Pemilihan Pemilu (KPU) sebagai
badan penyelenggara pemilu mengenai penetapan hasil pemilu yang dilakukan
secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi terpenuhinya ambang batas suara 2,5%
yang diakibatkan dari dugaan adanya kesalahan hasil perhitungan suara yang
diumumkan oleh KPU dengan hasil perhitungan suara yang dilakukan oleh pemohon.
Dalam tugas dan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi bukan
hanya berfungsi untuk mengadili dan menyelesaikan sengketa pemilu. Kewenangan
MK adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan
atau diatur oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membubarkan partai
politik dan memutuskan perselisihan, serta memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum (pemilu). Sehingga, inilah yang dianggap oleh beberapa pihak
bahwa diperlukan Peradilan Khusus pemilu agar lebih maksimal dalam
menyelesaikan dan memutuskan perkara pemilu.
Sebelumnya, sengketa pemilu diselesaikan oleh MK dengan
batas waktu pengajuan hanya tiga hari saja. Tentu hal inilah yang dikeluhkan
oleh banyak pihak karena semua kasus akan cepat dianggap daluarsa dan
menghilangkan esensi dari sebuah keadilan. Sebenarnya, batas waktu ini
bertujuan untuk tidak terjadinya vaacum of power dimana sengketa pemilu
berkaitan dengan posisi atau kedudukan seseorang didalam pemerintahan. Maka,
dengan dibentuknya pengadilan pemilu, tidak hanya mempertimbangkan waktu
persidangan namun lebih kepada keadilan subtantif. Tentunya dengan adanya
pengadilan khusus pemilu ini diharapkan dapat memberikan angin segar bagi
pencari kebenaran. Disamping itu, keberadaan Pengadilan Khusus Pemilu ini juga
akan menghapuskan kewenangan MK dalam memutus sengketa pemilu, dengan kata lain
ini dapat meringankan beban MK dan akan lebih efisien dan efektif menjalankan
tugasnya yang lain.
Wacana pembentukan peradilan khusus pemilu oleh Komisi
Yudisial inipun banyak mendapatkan respon dari masyarakat baik pro maupun
kontra. Indonesia juga telah memiliki beberapa peradilan khusus yang berkembang
dalam lingkungan peradilan umum, seperti Pengadilan Tindak Pidana korupsi
(Tipikor), Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan Anak, Pengadilan
Perikanan, dan Pengadilan niaga. Adapun Urgensi dari wacana pembentukan
peradilan khusus pemilu ini dimaksudkan agar penanganan
permasalahan-permasalahan yang timbul setelah proses pemilu mendapatkan penanganan
yang lebih maksimal.
Pembentukan Peradilan Khusus Tindak Pidana Pemilu ini
dapat memberikan penerangan terhadap dunia peradilan di Indonesia yang selama
ini masih sangat abu-abu. Dengan adanya peradilan khusus ini, kasus-kasus pemilu tidak menambah beban
perkara di pengadilan umum meski peradilan khusus itu harus tetap menjadi
bagian dari peradilan umum. Hal ini juga akan memberikan mekanisme penyelesaian
sengketa pemilu yang lebih optimal.
Hakim yang ada
di dalam peradilan khusus-pun tidak harus dari hakim karier. Namun, hakim ad
hog yang berasal dari para ahli-ahli hukum pidana yang khusus menguasai seluk
beluk pemilu. Ini merupakan kemajuan dalam lingkungan peradilan umum. Sebab,
selama ini penyelesaian sengketa pemilu yang seluruhnya ditumpahkan ke MK, tidak
dapat ditangani dengan lebih khusus. Selain itu, aparat penegak hukum mulai dari
Kepolisian, kejaksaan dan para hakim yang belum mengetahui secara komperhensif
mengenai peraturan-peraturan kepemiluan serta ketatanegaraan sehingga dalam
beberapa kasus pelanggaran pemilu tidak dapat diselesaikan secara baik.
Dengan adanya
peradilan khusus pemilu ini juga harus ditunjang dengan pembentukan
perundang-undangan yang menaungi permasalahan khusus tindak pidana pemilu. Hal
ini dimaksudkan agar penanganan tindak pidana pemilu mendapatkan kepastian
hukum. Pasalnya, selama ini tindak pidana pemilu yang tidak ada aturannya
dirujukkan pada Kitab Undang-Undang Hukuk Pidana (KUHP). Padahal, dua hal
tersebut merupakan hal yang sangat berbeda.
Alasan yang
lain mengapa diperlukan pengadilan khusus pemilu yaitu kasus-kasus
tindak pidana pemilu yang tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh Pengadilan
Negeri, mengakibatkan para pencari keadilan beramai-ramai melakukan permohonan
gugatan ke Mahkamah Konstitusi, dengan menambahkan dalil-dalil yang diajukan
para pemohon dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi. Hal ini di latar belakangi oleh ketidakpercayaan
para pencari keadilan pada Aparat
Penegak Hukum serta sistem peradilan
umum yang kurang profesional diwilayah hukumnya.
Maka dengan alasan-alasan yang telah disebutkan diatas, harus ada langkah
serius dari pemerintah yang menangani kekacauan dalam peradilan khusus pemilu
ini. Penaganannya yaitu dengan cara mewujudkan wacana Komisi Yudisial untuk
membentuk suatu Peradilan Khusus untuk Tindak Pidana Pemilu.
Namun, wacana
memciptakan peradilan khusus untuk pemilu ini juga mendapatkan respon negatif
dari masyarakat. Menurut masyarakat, pembentukan pengadilan khusus pemilu ini
merupakan wacana yang tidak solutif terhadap berbagai permasalahan pemilu. Hal
ini ditunjang dengan adanya pendapat bahwa sengketa pemilu ada karena kinerja
KPU yang dinilai kurang dan tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan kinerja
Bawaslu yang tidak mengawasi jalannya pemilu dengan baik dikarenakan Bawaslu
tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan keputusan yang bersifat
eksekutorial.
Pengadilan
khusus pemilu inipun dianggap akan sia-sia apabila moral dari KPU, Bawaslu,
serta calon-calon yang akan bertarung dalam pemilu tidak memahami esensi dari
prinsip-prinsip demokrasi. Pada dasarnya sengketa pemilu berasal dari
oknum-oknum yang terlibat dalam proses pemilu yang mudah untuk tergoda dengan
tawaran-tawaran menggiurkan dari calon yang tidak paham demokrasi. Seharusnya, permasalahan
inilah yang harus diselesaikan dan diatasi terlebih dahulu. Hal ini merupakan
dasar dari terselenggaranya proses pemilu yang jujur dan adil.
Selain itu,
wacana pembentukan pengadilan khusus pemilu ini akan mengakibatkan bengkaknya
anggaran negara. Berdasar pada keadaan negara ini yang masih harus menanggung
beban berat untuk mengatasi kemiskinan yang masih tinggi, masalah kesehatan
yang semakin tinggi, serta pendidikan di Indonesia yang sangat rendah, maka
seharusnya pemerintah lebih memperhatikan hal-hal ini daripada wacana
pembentukan pengadilan pemilu yang tidak solutif terhadap permasalahan dalam
pemilu.
Dengan
demikian, penulis ingin mengajak pada pemerintah bahwa solusi yang terbaik
untuk permasalahan pemilu ini adalah reformasi birokrasi dan revitalisasi
nilai-nilai dasar serta prinsip-prinsip demokrasi di KPU sebagai penyelenggara
pemilu, Bawaslu sebagai badan yang berwenang mengawasi jalannya proses pemilu,
dan seluruh masyarakat di Indonesia yang pada dasarnya menjadi ujung tombak
berhasilnya suatu pemilu yang terselenggara. Adapun cara yang dapat dilakukan
untuk melakukan reformasi demokrasi yaitu dengan cara mengganti oknum-oknum
baik dari KPU maupun Bawaslu yang terbukti melanggar independensi kedua lembaga
tersebut. Perlu juga pelatihan khusus tindak pidana pemilu bagi hakim-hakim
yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Dan juga, amandemen
Undang-Undang dan perubahan dalam mekanisme acara persidangan di MK yang
menyelesaikan sengketa pemilu yang berkaitan dengan selisih hasil suara KPU
dengan pemohon, maupun Peradilan Umum yang mengadili Tindak Pidana Pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar