Mendorong Pemilihan Pimpinan KPK yang Berintegritas
Polemik
muncul ketika pemilihan pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) diserahkan kepada Dewa Perwakilan Rakyat (DPR) yang
cenderung memunculkan statement “bagaimana dengan sifat KPK yang independen? Padahal DPR dikuasai oleh partai politik.
Meika Arista
Mahasiswi Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Pimpinan KPK untuk periode 2011-2015 akan segera berakhir. Waktu
pemilihan pimpinan
KPK yang baru akan segera
tiba yang kemudian muncul suatu masalah
mengingat sebelumnya, calon pimpinan KPK hasil seleksi Panitia Seleksi (Pansel)
dalam pemilihannya ditentukan oleh DPR. Lantas berkompetenkah
DPR dengan
kewenangan tersebut?
Merujuk
pada Undang-Undang
Dasar
Negara Republik Indonesia Pasal 20A ayat 1 yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan”, maka jelas terlihat secara eksplisit bahwa DPR
tidak memiliki fungsi dalam rekruitmen pemilihan pejabat negara. Apabila DPR
tetap melaksanakan dan memegang kendali atas proses seleksi calon pimpinan KPK, maka tentu saja
hal ini dapat dikatakan inkonstitusional dan bertentangan dengan fungsi DPR
sebagaimana tercantum dalam Pasal 20A ayat 1 UUD 1945 tersebut.
Pemberian kewenangan kepada DPR untuk melakukan fit and proper test untuk menguji calon
pejabat lembaga negara ini dapat menggeser fungsi utama DPR. Selain itu, juga memunculkan problematika
tersendiri. Misalnya, Saat wawancara untuk memilih pimpinan KPK atau Hakim Agung,
anggota DPR juga menguji penguasaan ilmu hukum si calon, padahal tidak semua
anggota DPR berlatar belakang hukum, sehingga tidak jelas alat ukurnya. Selain itu, kewenangan yang diberikan
kepada DPR untuk melakukan penentuan
calon pimpinan KPK
dapat menjadi “pintu
belakang”
bagi para politikus untuk membuka peluang intervensi di dalam tubuh KPK, dan berakibat mengurangi
independensi KPK.
Karena
proses pemilihan pimpinan
yang melibatkan DPR tentu
akan berimbas pada penanganan kasus-kasus korupsi di masa mendatang yang
disinyalir akan menimbulkan deal-deal politik di dalamnya.
Jika
pimpinan KPK ditentukan oleh DPR maka
kemungkinan yang akan terjadi adalah DPR akan memilih orang yang tidak
membahayakan atau dengan kata lain orang yang akan menguntungkan bagi mereka. Sebuah
adagium besar yaitu “tidak mungkin memelihara anak macan” menjadi pantas diterapkan dalam
situasi ini. Hal inilah yang diyakini bahwa calon yang akan dipilih DPR kuat dugaan akan mudah diintervensi bahkan diperalat dengan deal-deal
politik.
Proses
pemilihan pimpinan KPK sebelumnya dilakukan oleh Pansel yang kemudian
diserahkan kepada DPR untuk dipilih. Seleksi yang dilakukan Pansel dinilai
lebih baik dan terbebas dari intervensi politik. Yang jadi masalah adalah
mengapa dalam menentukan calon pimpinan hasil seleksi, harus dilakukan oleh
DPR? Pasalnya, jika yang memilih dan menguji kelayakan dan kepatutan adalah
DPR, maka daftar calon yang telah diberi peringkat dan kemudian diberikan oleh Pansel
kepada DPR cenderung akan dikesampingkan. Bahkan hasil seleksi yang sangat
ketat tersebut ternyata dapat dianulir pada saat mengikuti fit and proper test. Seluruh hasil tes yang diberikan oleh Pansel
dengan peringkat menjadi tidak bermakna apa-apa karena pada akhirnya yang
menentukan siapa yang terpilih tidak lagi berdasarkan nilai tes dengan skor
tertinggi, tetapi sangat bergantung pada pilihan anggota DPR yang
pertimbangannya bukan hanya semata-mata nilai ujian tetapi juga kepentingan
politik.
Seperti
kekhawatiran yang telah dibahas sebelumnya, bahwa DPR adalah lembaga politik
yang dianggap seluruh produk kebijakan atau keputusannya condong pada
kepentingan politik. Dengan begitu, DPR disinyalir akan memilih calon yang tidak
membahayakan dan yang sejalan dengan kemauan politiknya. Dengan kata lain, DPR
akan mengesampingkan peringkat calon yang berdasarkan kapabilitas dan
integritasnya. Kewenangan tersebut dinilai bisa menghilangkan proses obyektif
yang telah dilakukan oleh Pansel yang telah menilai secara obyektif mulai dari
integritas dan kemampuan intelektual calon. Mekanisme seleksi calon pimpinan
KPK yang demikian selain akan menggangu independensi KPK, juga telah
mengakibatkan atau setidak-tidaknya berpotensi melanggar hak konstitusional
warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.
Selain
faktor intern dari DPR di atas,
ada pula faktor ekstern yang lebih menguatkan bahwa proses seleksi pimpinan KPK oleh DPR tidak
akan mendapatkan dukungan sebagian besar publik. Hal ini disebabkan minimnya
rasa kepercayaan publik pada DPR. Mengutip Survei Barometer Korupsi Global
(Indonesia) tahun 2009, DPR menjadi lembaga dengan potensi korupsi tertinggi di
Indonesia dengan angka mencapai 4,4 atau hanya sedikit di bawah angka
tertinggi, yaitu 5. Selain potensi korupsi yang sangat tinggi, DPR juga telah
kehilangan kewibawaannya dengan berkurangnya
anggota yang berlatar belakang akademisi atau intelektual. Sebaliknya malah
banyak
kalangan pengusaha atau
bahkan artis
yang duduk menjadi
angota dewan yang mana dianggap tidak berkompeten dan
mengurangi kualitas DPR itu sendiri.
Lantas,
siapakah yang dianggap berkompeten dalam memilih pimpinan KPK? Kembali pada
prinsip negara Republik Indonesia yang menganut paham demokrasi, yaitu
kekuasaan dipegang sebesar-besarnya oleh rakyat. Rakyatlah yang kemudian berhak
menentukan siapakah yang mereka yakini untuk dapat melakukan proses seleksi pimpinan KPK. Proses seleksi calon pimpinan KPK sebelumnya yang
dilakukan oleh Pansel yang terdiri dari wakil pemerintah, akademisi, dan pegiat
antikorupsi ini sudah cukup baik. Lebih baik lagi jika unsur Pansel sepenuhnya
diisi oleh kalangan sipil yang berkualitas tanpa adanya unsur pemerintah. Maka
dari itu, penulis menyarankan agar wewenang DPR dalam keterlibatannya
menentukan calon pimpinan KPK untuk dihapus saja yang kemudian wewenang
tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Pansel. Dengan begitu, proses seleksi
hingga penentuan siapa calon pimpinan KPK dilakukan sepenuhnya oleh Pansel yang
kemudian akan terlihat lebih bersih, transparan, independen dan terbebas dari
deal-deal politik, untuk mendapatkan calon pimpinan yang betul-betul mempunyai
integritas dan kapabilitas yang mumpuni. Oleh karena itu, mari kita dorong agar
aturan mengenai seleksi calon pimpinan KPK dapat dirubah, mendorong dihapusnya
keterlibatan DPR dalam proses seleksi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar