Sabtu, 12 Maret 2016

Mendorong Pemilihan Pimpinan KPK yang Berintegritas

Mendorong Pemilihan Pimpinan KPK yang Berintegritas

Polemik muncul ketika pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diserahkan kepada Dewa Perwakilan Rakyat (DPR) yang cenderung memunculkan statement “bagaimana dengan sifat KPK yang independen? Padahal DPR dikuasai oleh partai politik.

Meika Arista
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pimpinan KPK untuk periode 2011-2015 akan segera berakhir. Waktu pemilihan pimpinan KPK yang baru akan segera tiba yang kemudian muncul suatu masalah mengingat sebelumnya, calon pimpinan KPK hasil seleksi Panitia Seleksi (Pansel) dalam pemilihannya ditentukan oleh DPR. Lantas berkompetenkah DPR dengan kewenangan tersebut?
Merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 20A ayat 1 yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”, maka jelas terlihat secara eksplisit bahwa DPR tidak memiliki fungsi dalam rekruitmen pemilihan pejabat negara. Apabila DPR tetap melaksanakan dan memegang kendali atas proses seleksi calon pimpinan KPK, maka tentu saja hal ini dapat dikatakan inkonstitusional dan bertentangan dengan fungsi DPR sebagaimana tercantum dalam Pasal 20A ayat 1 UUD 1945 tersebut.
Pemberian kewenangan kepada DPR untuk melakukan fit and proper test untuk menguji calon pejabat lembaga negara ini dapat menggeser fungsi utama DPR. Selain itu, juga memunculkan problematika tersendiri. Misalnya, Saat wawancara untuk memilih pimpinan KPK atau Hakim Agung, anggota DPR juga menguji penguasaan ilmu hukum si calon, padahal tidak semua anggota DPR berlatar belakang hukum, sehingga tidak jelas alat ukurnya. Selain itu, kewenangan yang diberikan kepada DPR untuk melakukan penentuan calon pimpinan KPK dapat menjadi pintu belakang bagi para politikus untuk membuka peluang intervensi di dalam tubuh KPK, dan berakibat mengurangi independensi KPK. Karena proses pemilihan pimpinan yang melibatkan DPR tentu akan berimbas pada penanganan kasus-kasus korupsi di masa mendatang yang disinyalir akan menimbulkan deal-deal politik di dalamnya.
Jika pimpinan KPK ditentukan oleh DPR maka kemungkinan yang akan terjadi adalah DPR akan memilih orang yang tidak membahayakan atau dengan kata lain orang yang akan menguntungkan bagi mereka. Sebuah adagium besar yaitu “tidak mungkin memelihara anak macan” menjadi pantas diterapkan dalam situasi ini. Hal inilah yang diyakini bahwa calon yang akan dipilih DPR kuat dugaan akan mudah diintervensi bahkan diperalat dengan deal-deal politik.
Proses pemilihan pimpinan KPK sebelumnya dilakukan oleh Pansel yang kemudian diserahkan kepada DPR untuk dipilih. Seleksi yang dilakukan Pansel dinilai lebih baik dan terbebas dari intervensi politik. Yang jadi masalah adalah mengapa dalam menentukan calon pimpinan hasil seleksi, harus dilakukan oleh DPR? Pasalnya, jika yang memilih dan menguji kelayakan dan kepatutan adalah DPR, maka daftar calon yang telah diberi peringkat dan kemudian diberikan oleh Pansel kepada DPR cenderung akan dikesampingkan. Bahkan hasil seleksi yang sangat ketat tersebut ternyata dapat dianulir pada saat mengikuti fit and proper test. Seluruh hasil tes yang diberikan oleh Pansel dengan peringkat menjadi tidak bermakna apa-apa karena pada akhirnya yang menentukan siapa yang terpilih tidak lagi berdasarkan nilai tes dengan skor tertinggi, tetapi sangat bergantung pada pilihan anggota DPR yang pertimbangannya bukan hanya semata-mata nilai ujian tetapi juga kepentingan politik.
Seperti kekhawatiran yang telah dibahas sebelumnya, bahwa DPR adalah lembaga politik yang dianggap seluruh produk kebijakan atau keputusannya condong pada kepentingan politik. Dengan begitu, DPR disinyalir akan memilih calon yang tidak membahayakan dan yang sejalan dengan kemauan politiknya. Dengan kata lain, DPR akan mengesampingkan peringkat calon yang berdasarkan kapabilitas dan integritasnya. Kewenangan tersebut dinilai bisa menghilangkan proses obyektif yang telah dilakukan oleh Pansel yang telah menilai secara obyektif mulai dari integritas dan kemampuan intelektual calon. Mekanisme seleksi calon pimpinan KPK yang demikian selain akan menggangu independensi KPK, juga telah mengakibatkan atau setidak-tidaknya berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Selain faktor intern dari DPR di atas, ada pula faktor ekstern yang lebih menguatkan bahwa proses seleksi pimpinan KPK oleh DPR tidak akan mendapatkan dukungan sebagian besar publik. Hal ini disebabkan minimnya rasa kepercayaan publik pada DPR. Mengutip Survei Barometer Korupsi Global (Indonesia) tahun 2009, DPR menjadi lembaga dengan potensi korupsi tertinggi di Indonesia dengan angka mencapai 4,4 atau hanya sedikit di bawah angka tertinggi, yaitu 5. Selain potensi korupsi yang sangat tinggi, DPR juga telah kehilangan kewibawaannya dengan berkurangnya anggota yang berlatar belakang akademisi atau intelektual. Sebaliknya malah banyak kalangan pengusaha atau bahkan artis yang duduk menjadi angota dewan yang mana dianggap tidak berkompeten dan mengurangi kualitas DPR itu sendiri.
Lantas, siapakah yang dianggap berkompeten dalam memilih pimpinan KPK? Kembali pada prinsip negara Republik Indonesia yang menganut paham demokrasi, yaitu kekuasaan dipegang sebesar-besarnya oleh rakyat. Rakyatlah yang kemudian berhak menentukan siapakah yang mereka yakini untuk dapat melakukan proses seleksi pimpinan KPK. Proses seleksi calon pimpinan KPK sebelumnya yang dilakukan oleh Pansel yang terdiri dari wakil pemerintah, akademisi, dan pegiat antikorupsi ini sudah cukup baik. Lebih baik lagi jika unsur Pansel sepenuhnya diisi oleh kalangan sipil yang berkualitas tanpa adanya unsur pemerintah. Maka dari itu, penulis menyarankan agar wewenang DPR dalam keterlibatannya menentukan calon pimpinan KPK untuk dihapus saja yang kemudian wewenang tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Pansel. Dengan begitu, proses seleksi hingga penentuan siapa calon pimpinan KPK dilakukan sepenuhnya oleh Pansel yang kemudian akan terlihat lebih bersih, transparan, independen dan terbebas dari deal-deal politik, untuk mendapatkan calon pimpinan yang betul-betul mempunyai integritas dan kapabilitas yang mumpuni. Oleh karena itu, mari kita dorong agar aturan mengenai seleksi calon pimpinan KPK dapat dirubah, mendorong dihapusnya keterlibatan DPR dalam proses seleksi tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar