Sabtu, 12 Maret 2016

Penerapan Yurisdiksi Teritorial terhadap Pengungsi Internasional (Refugee) yang Melakukan Tindak Pidana di dalam Yurisdiksi State/ Host Countries Berkaitan dengan Pertahanan Kedaulatan


Penerapan Yurisdiksi Teritorial terhadap Pengungsi Internasional (Refugee) yang Melakukan Tindak Pidana di dalam Yurisdiksi State/ Host Countries
Berkaitan dengan Pertahanan Kedaulatan
 Oleh: Meika Arista

Pendahuluan
Konflik berkepanjangan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah telah membawa dampak yang sangat luas, khususnya bagi para penduduk sipil yang langsung terkena dampak nyata di wilayah konflik. Dalam penanganan korban perang dan warga sipil yang memerlukan perlindungan dan keamanan, seluruh negara di dunia secara tidak langsung wajib membantu dan memberikan pertolongan pada seluruh korban dalam konflik ini. Tentunya, konflik ini menarik perhatian dunia internasional. Konflik bermula ketika Israel dan Palestina memperebutkan tanah kekuasaan yang diklaim milik leluhur kedua belah negara ini menimbulkan berbagai permasalahan internasional.
Berubahnya konflik yang semula hanya antara kedua negara saat ini telah berkembang dengan adanya dampak warga sipil yang memilih untuk keluar dari daerah konflik untuk menyelamatkan jiwa dan keluarga. Sebagian besar pengungsi memilih untuk keluar dari wilayah negaranya untuk menyelamatkan diri, tentunya para pengungsi ini memasuki wilyah negara lain baik untuk sementara waktu maupun menetap. Kedatangan para pengungsi korban konflik ini tidak hanya memberikan dampak baik terhadap kondisi yang ada yang diperoleh dari segi keamanan mereka, melainkan adanya hukum Internasional yang mewajibkan setiap negara lain untuk tidak menolak kedatangan mereka yaitu prinsip yang berasal dari International Customary Law, Principle of Non Refoulment: “No Rejection in the border”[1], juga dapat mengesampingkan hak pada negara yang didatangi (State/Host Country) terhadap keamanan kedaulatannya. Bagaimanakah bila para pengungsi yang masuk ke dalam negara lain melakukan tindak pidana di dalam State/Host Country, apakah State/Host Country berhak untuk mengadili mereka? Hal ini yang kemudian akan dibahas oleh penulis yaitu mengenai “Penerapan Yurisdiksi Teritorial terhadap Pengungsi Internasional (Refugee) yang Melakukan Tindak Pidana di dalam Yurisdiksi State/ Host Countries Berkaitan dengan Pertahanan Kedaulatan.”
Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah penegakan Yurisdiksi Teritorial menurut Hukum Internasional?
2.      Apakah yang dimaksud dengan Pengungsi Internasional dan bagaimana kewajiban negara yang didatangi (State/Host Countries)?
3.      Dapatkah State/Host Countries mengadili Pengungsi Internasional yang berada di wilayah yurisdiksinya yaitu berkaitan dengan permasalahan mempertahankan kedaulatannya?
Pembahasan
A.    Penegakan Yurisdiksi Teritorial dalam Hukum Internasional
Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal dari dua kata yaitu kata yuris dan dictio. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum atau kewenangan menurut hukum.[2]
Imre Anthony Csabafi dalam bukunya The Consept of State Yurisdiction in International Space Law mengemukakan bahwa yurisdiksi negara dalam hukum internasional publik berarti hak dari suatu negara untuk mengatur atau mempengaruhi dengan langkah-langkah atau tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, maupun yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwayang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri.[3]
Berdasarkan pengertian yurisdiksi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yurisdiksi adalah kewenangan mengadili suatu negara terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam negaranya. Dalam kasus ini, permasalahannya adalah mengenai siapa dan sedang dalam keadaan apa subyek yang akan diadili, yaitu subyeknya adalah pengungsi internasional atau refugee dan keadaannya adalah keadaan force mejour atau keadaan yang memaksa mereka untuk pergi dari daerah konflik dan masuk pada wilayah negara lain untuk berlindung.
Pengungsi yang berada dalam yurisdiksi State/Host Countries haruslah mengikuti hukum yang ada dalam negara tersebut. Sebagai negara yang berdaulat, State/Host Countries tetap memiliki yurisdiksi penuh terhadap seluruh orang yang memasuki wilayah kekuasaannya. Seperti perumpamaan “dimana bumi perpijak, disitulah langit dijinjing” maka jika seorang pengungsi dalam keadaan seperti apapun yang keluar dari negaranya yang sedang berkonflik kemudian masuk ke dalam negara lain, maka sudah sepatutnya dia tunduk dan patuh terhadap hukum yang ada. Dan jika seorang pengungsi itu melakukan tindak pidana, maka sebagai negara yang berdaulat, State/Host Countries berhak untuk mengadilinya berdasarkan hukum yang berlaku.

B.     Pengungsi Internasional dan Kewajiban State/Host Countries
Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina di Timur Tengah semakin memanas. Belum lagi, permasalahan yang sedang disorot oleh dunia internasional saat ini adalah dengan adanya Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) yang memberikan teror-teror kejahatan kemanusiaan yang selama ini terjadi juga semakin kencang untuk menyebarkan pahamnya di negara-negara lain.  Hal inilah yang menimbulkan jumlah pengungsi internasional atau refugee semakin meningkat tajam. Dalam koran Media Indonesia ePaper menyebutkan, peningkatan jumlah refugee diseluruh dunia saat ini meningkat tajam.
Dalam Geneva Convention of 1951 to the Status of Refugee, “a refugee is any person who:... owing to well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership to a particular social group  or political opinion, is outside the country of origin of his nationality and unable or owing such fear, is unwilling to avoil himself of protection of that country”.[4] Pada intinya, pengungsi sangat berbeda dengan migrant. Seperti yang telah didefinisikan diatas, refugee yaitu orang yang terpaksa pergi untuk menyelamatkan diri dan kebebasannya karena suatu penganiayaan. Sedangkan hal itu berbeda dengan Migrant, karena alasan yang mendasarkan seorang Migrant untuk keluar dari negaranya adalah permasalahan dalam aspek memperbaiki kehidupan perekonomiannya.
Berdasarkan pengertian dari refugee di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang refugee adalah orang yang pergi dari negaranya ke negara lain, walaupun pada dasarnya refugee dibagi menjadi dua macam, yang pertama adalah pengungsi internal atau dalam hukum internasional biasa disebut dengan internally displaced persons/IDPs yaitu “persons or groups of persons who have been force or obliged to flee or to leave their homes or places of habitual recidence, in particular as a result of or in order to avoid the effect of armed conflict, situations of generalized violence, violations of human rights or natural or human-made disasters,  and who have not crossed an internationally recognised state border[5]
Akan tetapi, yang dipermasalahkan disini adalah macam refugee yang kedua, yaitu refugee yang melintasi batas negara/ have crossed an international border. Adanya kewajiban suatu negara yaitu diharuskannya menerima refugee yang membutuhkan perlindungan ini bukanlah berarti bahwa pengungsi internasional/ refuge tidak memiliki kewajiban apapun. Ada prinsip dalam hukum internasional untuk menghormati hukum yang ada pada state/ host countries, yaitu berdasarkan tertib hukum internasional dilandasi dengan prinsip kedaulatan negara. Setiap negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun terjadi di wilayah atau territorialnya.[6]

C.    Yurisdiksi Teritorial State/Host Countries terhadap Refugee
Membicarakan mengenai kewenangan mengadili pada refugee tentunya tidak terlepas dari aspek perlindungan terhadapnya. Tidak semata-mata menerapkan hukum yang ada pada suatu negara, namun harus melihat kepentingan apa dan kepentingan siapa (sinnegebugen) dalam pelaksanaan penjatuhan pidana. Dalam konsep perlindungan internasional terhadap para refugee dapat berasal dari dua pihak. Pertama adalah national protection yaitu state has exclusive jurisdiction over territory and its peoples.[7] Selain itu state has right and responsibility to protect the peoples.[8] Dan yang kedua adalah International  Protection terhadap refugee yaitu international comunity temporary protection/surrogate of nation protection.[9]
Setelah mengetahui bahwa perlindungan terhadap refugee yang dibebankan pada masyarakat internasional adalah perlindungan yang bersifat temporarry, maka harus ada penanganan yang berbeda pula bagi refugee yang telah lama menetap di dalam wilayah kekuasaan state/host countries. Seperti yang telah dikatakan pada sub bab sebelumnya, bahwa setiap negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun terjadi di wilayah atau territorialnya.[10] Hal ini tentunya berlaku bagi warga negaranya sendiri maupun warga negara asing yang berada di dalam wilayah yurisdiksinya. Tidak pula berbeda dengan keberadaan refugee, memang untuk beberapa waktu (temporal) refugee yang berada di dalam wilayahnya sendiri (IDPs) maupun yang berada di luar international border atau di dalam yurisdiksi negara lain tetap yang berhak mengadili adalah negara aslinya atau state has exclusive jurisdiction over territory and its peoples.
 Namun, apabila refugee ini telah melakukan tindak pidana yang membahayakan kepentingan dari state/host countries maka berhak untuk diadili dimana ia mengungsi. Misalnya saja dalam konflik Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS), terdapat bahaya yang sangat besar karena kelompok ini sudah mendeklarasikan bahwa akan menyebarkan paham yang mereka miliki untuk memperluas wilayah kekuasaan. Lantas, bagaimana jika ada oknum dari kelompok ISIS yang menyamar menjadi refugee dan pergi ke negara lain dengan alasan untuk mengungsi padahal sejatinya ia ingin menyebarkan paham yang sama di dalam negara state/host countries? Bukankah ini merupakan suatu ancaman bagi negara-negara lain untuk melindungi kedaulatannya? Tentu saja jawabannya, iya.




Kesimpulan
            Pengungsi adalah setiap orang yang: ... karena ketakutan yang berasal dari penganiayaan karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, berada di luar negara asal kewarganegaraannya dan tidak dapat atau karena ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan dirinya dari perlindungan negara tersebut. Tentunya setiap negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun terjadi di wilayah atau territorialnya. Dalam perlakuannya jika seorang refugee melakukan tindak pidana,  untuk beberapa waktu (temporal) refugee yang berada di dalam wilayahnya sendiri (IDPs) maupun yang berada di luar international border atau di dalam yurisdiksi negara lain tetap yang berhak mengadili adalah negara aslinya atau state has exclusive jurisdiction over territory and its peoples. Maka, mengingat bahwa perlakuan terhadap refugee ini adalah istimewa dibandingkan dengan migrant, diperlukan upaya khusus pula apabila seorang refugee melakukan tindak pidana di dalam yurisdiksi state/host countries. Apabila refugee telah lama menetap di dalam state/host countries, dan mengancam kedaulatan negara, maka state/host countries dengan alas hak prinsip kedaulatan negara.













Daftar Pustaka

1.      I wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990.
2.      Imre Anthony Csabafi, The Consept of State Yurisdiction in International Space Law, Martinus Nijhoff, The Haque, 1971, hlm. 49
3.      Sefriani, Hukum Internasional (Suatu Pengantar), Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011.
4.      Makalah Stadium General “Perlindungan Hukum bagi Pengungsi Korban Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS)” oleh Prof. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., 23 Desember 2015
5.      Geneva Convention of 1951 to the Status of Refugee
6.      The Guiding Principles on Internal Displacement 1998



[1] Informasi didapat dalam Stadium General “Perlindungan Hukum bagi Pengungsi Korban Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS)” oleh Prof. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., 23 Desember 2015
[2] I wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 102.
[3] Imre Anthony Csabafi, The Consept of State Yurisdiction in International Space Law, Martinus Nijhoff, The Haque, 1971, hlm. 49 sebagaimana dikutip oleh Sefriani, Hukum Internasional (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), hlm. 233.
[4] Konvensi Jenewa 1951 dengan Status Pengungsi, pengungsi adalah setiap orang yang: ... karena ketakutan yang didirikan pada dianiaya karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, berada di luar negara asal kewarganegaraannya dan tidak dapat atau karena ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan dirinya dari perlindungan negara tersebut.
[5] The Guiding Principles on Internal Displacement 1998
[6] Sefriani, Hukum Internasional (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), hlm. 231-232.
[7] Artinya kurang lebih: negara memiliki yurisdiksi exklusif di negara yang bersangkutan terhadap warga negaranya.
[8] Artinya kurang lebih: negara memiliki hak untuk melindungi warga negaranya.
[9] Artinya kurang lebih: dalam perlindungan internasional, masyarakat internasional hanya memproteksi sementara “surrogate;sementara”
[10] Op.cit., Sefriani, Hukum Internasional..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar